Tegal Panjang dan Tegal Alun, dua pesona alam identik namun berbeda di kawasan gunung Papandayan, Garut - Jawa Barat ini yang akan menjadi topik saya kali ini. Di saat yang lain sedang berburu bangunnya mentari di puncak, saya memutuskan untuk berburu di tegal atau tempat lapang/alun-alun yang ditumbuhi rumput ilalang menakjubkan bahkan juga sering dijumpai si bunga abadi nan cantik, edelweiss.
Maret 2010, saya sudah berencana mengunjungi kedua tempat tersebut namun karena perlengkapan, waktu, dan cuaca tidak memungkinkan, saya harus ikhlas 2x pendakian hanya sampai area Pondok Salada untuk bangun camp tahun lalu. Awal tahun 2011, beberapa kawan kaskus OANC berencana ke Tegal Panjang, tetapi lagi-lagi waktu tak berpihak pada saya. Ada sisi baiknya, setidaknya saya dapat informasi dari hasil perjalanan mereka. Saya kumpulkan semua informasi baik transportasi, cuaca setempat, dan juga tracking via GPS. Dengan menimbang-nimbang baik buruknya, akhirnya saya dan Anwar memutuskan untuk berangkat esok subuh dari terminal Tegal Lega dengan elf menuju Pengalengan, Bandung Selatan. Sambil menunggu Ari yang berangkat dari Jakarta, Anwar mencari teman seperjalanan lagi yang memang cukup sulit karena ajakan yang sangat dadakan (berangkat kamis jam 3 subuh, ajakan baru berkumandang rabu sore :p).
Bandung – Cibutarua – Tegal Panjang, 3 Juni 2011
Saya tidak tidur karena harus membantu membuat ringkasan pelajaran untuk adik didik yang akan ujian fisika senin depan dan baru packing nyaris pukul 2 tengah malam. Selesai packing, Anwar dan Ari sudah berangkat menuju terminal, lalu saya susul mencari angkot yang ternyata kami tiba berbarengan di kebon kelapa. Kami melanjutkan dengan angkot lain menuju terminal Tegal Lega. Angkut ransel ke atas elf, lalu mencari cemilan untuk mengganjal perut, dilanjutkan dengan tidur meski sang supir terus menerus ngetem mencari penumpang.
Akhirnya kami tiba di Pengalengan jam 6 pagi. Kami sigap mencari toilet untuk ritual pagi hari. Kebetulan selama kami menumpang toilet pomp bensin, seorang bapak menawarkan angkot untuk membawa kami ke desa Cibutarua, desa persinggahan kami sebelum memulai pendakian. Setelah tawar menawar harga yang berlangsung alot, akhirnya deal 55.000/3 orang.
Perjalanan menuju desa Cibutarua di dominasi kebun teh milik PT PN, bahkan hampir sepanjang jalan sejauh mata memandang hanya ada hamparan kebun teh. Jalan aspal yang semula mulus berangsur-angsur rusak parah dan semakin lama bentuk jalan berubah hanya susunan batu yang susunannya pun tak rapih. Inilah rasanya naik odong-odong hampir satu setengah jam :p.
 |
di dalam angkot |
Jam 8 waktu setempat, kami tiba di depan kantor kepala desa Cibutarua. Suasana sepi dan dingin pagi hari itu. Kami langsung menuju warung terdekat untuk membeli sarapan karena perut saya sudah mau diisi lagi. Malang tak dapat ditolak, tak ada satu pun bentuk sarapan yang ditemui di sana. Akhirnya harus puas dengan 3 potong tahu goreng dan biscuit untung pengganjal perut ditambah teh hangat pahit yang tadinya dipesan teh manis, ckck.
Matahari semakin terang, kami memutuskan berangkat. Tepat pukul 8.30, selesai berdoa, kami mulai perjalanan kali ini menyusuri perkebunan teh yang sangat luas. Saya sulit menentukan arah jika berada di kebun teh karena semua trek hampir mirip. Dan benar saja, kami berputar-putar hampir 2 jam di kebun teh ini meski telah memanfaatkan gps offline (baca : guide penduduk setempat = bertanya :p). Akhirnya kami memutuskan untuk percaya pada GPS asli :p. Ternyata kami sudah berbeda 2 bukit dengan track GPS, terpaksa potong jalur tembus kebun teh. Kami sampai pada batas kebun teh dengan ladang pukul 11 kurang. Istirahat sejenak di dekat sungai kecil, lalu mulai menelusuri ladang.
 |
jalur awal, akan menelusuri kebun teh di depan sana |
 |
ladang penduduk Cikoleti |
Saya kurang yakin dengan track pada GPS mengarah ke empang dan rumah penduduk, dijaga 2 anjing pula. Setelah Anwar bertanya ke penghuninya, ternyata benar lewat samping rumahnya. Wow, benar-benar jalur yang aneh. Jalur terus menanjak pasti membelah ladang “liar” penduduk Cikoleti ini, masih terlihat jelas pembakaran pohon-pohon untuk dimanfaatkan lahannya dan mungkin juga untuk dijual kayu-kayunya. Sampai batas hutan pukul 11.30, kami istirahat, buka trangia seduh energen untuk mengganjal perut di perjalanan berikutnya.
Kami melanjutkan perjalanan memasuki hutan. Jalur kombinasi menanjak dan menurun membuat lutut cepat lelah. Kami dihadang sungai yang cukup deras dan setelah di tes dengan trekpole cukup dalam juga sungainya. Akhirnya kami memutuskan melompat meski awalnya ragu-ragu bebatuan di sisi lainnya licin. Semak perdu semakin lebat membuat kaki saya dan Anwar yang memang memakai celana pendek ga tahan lagi. Akhirnya saya memakai celana panjang dan Anwar pasang gaiternya, sementara Ari tak mengeluh persoalan perdu ini karena memang memakai celana lapangan.
 |
sungai pertama, cukup dalam dan deras |
 |
salah satu potret jalur |
Beberapa kali saya meminta istirahat karena fisik sudah habis dan lutut nyut-nyutan dipaksa menanjak dan menurun kira-kira 4-5 bukit, semakin berjalan semakin membosankan karena kiri kanan jalur hanya tumbuhan homogen yang lebat. Di tengah perjalanan yang membosankan, saya membuka topik soal babi hutan. Sepanjang perjalanan, setiap melihat lumpur melingkar membentuk kerucut bertumpuk seperti es krim cone, dengan sotoy-nya saya bilang itu bekas celeng, haha. Mulainya bercerita serba-serbi celeng dan tak terasa hutan semakin lama semakin renggang dan nampak ada cahaya di depan pandangan. Pepohonan semakin terbuka tetapi justru membuat jalur semakin tidak jelas. Setelah berputar-putar akhirnya kami kembali ke jalur GPS menuju pintu hutan Tegal Panjang.
Capek, lelah, dan bosan semua hilang sekejap melihat pemandangan Tegal Panjang di depan mata. Seperti dunia khayangan waktu itu saya bilang ke teman-teman. Perlahan kabut tipis pun turun dan gerimis rintik mengikutinya. Anwar dan Ari lalu memasang flysheet sementara saya masih asik tiduran sambil memandang rumput-rumputan yang mulai ditutupi kabut. Indahnya…
 |
suasana berkabut sore hari |
 |
camp di atas sungai terakhir |
Tak berapa lama gerimis dan kabut pun hilang, kami bergegas mencari lapak untuk camp. Setelah melewati sungai terakhir, kami memutuskan camp di seberang sungai terakhir. Setelah beberes dan rapih-rapih tenda, saya merasa mulai merasa mual. Tak berapa lama pun saya muntah, sepertinya masuk angin karena malam sebelumnya gak tidur ditambah belum sarapan dan makan siang yang cukup. Karena lemas, saya masuk tenda dan langsung tidur terlelap dengan lantunan nada alam saking lelahnya :p.
Anwar dan Ari menyiapkan makan malam selama saya tertidur pulas. Sekitar pukul 6 sore, Anwar membangunkan saya karena terdengar saya sedang menggigil, saat itu saya masih setengah tidur sambil memakai jaket dan sleeping bag lalu pulas lagi. Entah berapa lama kemudian, Ari yang membangunkan saya dan memberikan segelas jahe hangat. Segarnya jahe hangat saat itu, jahe ternikmat se-Tegal Panjang, haha..
Malam itu kami mekan nugget, sayur sop, dan nasi. Perut belum mau diisi penuh, nasi pun masih sisa banyak yang akhirnya disimpan untuk esok pagi. Malam itu suasana begitu hening, hanya ada kami yang masih semangat bercerita dan bercanda soal babi hutan dan lainnya. Sampai-sampai suara air menetes ke flysheet tenda pun disangka suara babi oleh Anwar yang wajahnya sangat panik sambil memegang belati saya, haha.. Akhirnya saya tumbang pertama jam 9an, sementara mereka berdua masih asik ngobrol.
 |
matahari sore hari yang hangat |
Tegal Panjang – Guberhut – Tegal Alun, 4 Juni 2011
Jam 2 pagi, saya dibangunkan suara berisik di luar tenda. Suara hewan-hewan hutan yang sedang berusaha mencari sesuap makanan dari logistik kami. Lalu saya bangunkan Ari dan bilang bahwa ada babi hutan di luar, haha. Lagi-lagi babi hutan jadi korban padahal hanya tikus hutan atau pengerat lainnya mungkin. Saya juga mendengar jelas suara berisik di tenda Anwar, rupanya dia mulai kedinginan dan memasang sleeping bag nya. Lajut tidur lagi karena sedang dingin-dinginnya di waktu subuh ini.
 |
suasana pagi hari sebelum mentari muncul |
 |
siluet |
Jam 5 kami semua bangun, disambut kicauan burung-burung di dalam hutan. Ari mulai memotret suasana pagi hari ini sementara saya dan Anwar menyiapkan sarapan pagi. Menu kali ini adalah nasi goreng campur mie goreng dengan nugget sisa semalam. Samping tenda kami terlihat seekor laba-laba sedang membuat sarang, pertanda baiknya cuaca akan cerah.
 |
nasi goreng mawut |
 |
laba-laba bangun sarang |
Selesai makan, kami mulai beberes dan packing untuk melanjutkan perjalanan berikutnya menuju Tegal Alun. Dan tidak lupa foto narsis ria bergaya om andre kopassus, haha..
 |
santai sambil nunggu packing |
Karena terlalu memulur waktu, target jam 9 berangkat akhirnya ulur waktu baru berangkat jam 10 kurang meninggalkan Tegal Panjang. Kami mulai menyusuri padang rumput menuju ke arah tenggara. Melintas daerah rerumputan yang terbakar, ada percabangan ke kiri dan kanan, kami mengambil arah kanan karena arah kiri adalah jalur menuju gunung puntang sedangkan jalur kanan jalur melipir.
 |
si rumput merah |
 |
rumput yang kebakaran karena musim kemarau |
Bersambung (part II) .......................
1 comments
uhuyyy..
Post a Comment