Monday, June 13, 2011

Panorama Pasca Letusan 2002 silam (Papandayan part II)

Singkat cerita, kami bertiga sudah sampai di Tegal Panjang Jumat Sore, 3 Juni 2011. Kami berencana melanjutkan perjalanan menuju Tegal Alun esok harinya. Malam yang hangat di Tegal Panjang waktu itu membuat kami semua terlelap berselimutkan sleeping bag masing-masing...Sabtu pagi kami melanjutkan perjalanan melintasi savana rumput luas yang juga terdapat sisi yang terbakar akibat mulainya musim kemarau....
Tegal Alun

Tegal Panjang – Guberhut – Tegal Alun, 4 Juni 2011

Kombinasi tanaman dan perdu di jalur ini bisa dibilang lebih parah dari sebelumnya yang menuju Tegal Panjang. Track awal menanjak curam membuat nafas ngap-ngapan ditambah banyak pohon tumbang melintang cukup menguras tenaga saya. Setelah melipir jalur selama 2 jam, kami tiba dipercabangan antara jalur dari puncak gunung puntang/kiri menanjang dan ke arah guberhut/lurus melipir. Disini terdapat sungai kecil dan area yang cukup luas untuk banyak tenda. Kami istirahat sejenak dan seduh energen lagi karena energi sarapan sudah mulai habis.


Kami melanjutkan perjalanan lagi melipir terus menerus sampai akhirnya tercium bau belerang pertanda sudah memasuki area guberhut. Tanaman semakin jarang dan semakin banyak pohon mati dengan ranting-rantingnya yang mengganggung keril saya. Kami tiba di guberhut jam 1 siang, memandang takjub kawah Papandayan dan berfoto ria. Tak lama-lama di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju Pondok Salada, karena target jam 4 sore harus sudah sampai Tegal Alun jika cuaca sedang baik. Setengah jam berselang kami tiba di Pondok Salada, senangnya hati kami melihat ada orang-orang di sekitar karena selama 2 hari ini belum melihat orang sama sekali,hehe..

view dari Guberhut (menghadap ke timur), cocok untuk hunting sunrise

Saya mengistirahatkan kaki sejenak, karena medan menuju Tegal Alun cukup menguras tenaga. Melihat cuaca sangat baik, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalur air di Pondok Salada menuju area hutan mati. Tidak ada kabut sama sekali waktu itu, beruntungnya kami karena jalur jadi terlihat jelas. Menanjak perlahan tapi pasti, nafas saya menjadi sesak karena kepulan asap dari kawah masih tercium menyengat di area ini. Selepas hutan mati, jalur semakin curam dan terpaksa pakai jurus spiderman alias pegangan akar pohon atau bebatuan.
suasana hutan mati
Tanah kapur yang tererosi, bagian atas tiap "tiang kapur" ini terdapat batu kerikil :)

Pesona alam yang disajikan di Tegal Alun bernuansa mirip dengan Tegal Panjang, tetapi di Tegal Alun penuh dengan Edelweiss yang sedang berbunga, dan rerumputan hijau berbentuk bola-bola lucu. Kami bertemu dengan 2 orang yang sedang foto-foto (sebut saja Mang Ujang dan Mas Jeff), dugaan kami mereka sedang mencari lokasi syuting, haha.
Tegal Alun sedang berkabut

Setelah bincang-bincang sejenak, mereka menunjukan camp mereka di ujung lembah dekat sungai. Benar saja dugaan saya, mendekati pukul 4 sore, perlahan kabut mulai turun dan membuat pandangan menjadi kabur. Nyaris sama semua, bahkan bukit dengan pohon-pohon mati pun tak nampak yang menjadi patokan kami. Setelah berputar-putar, Anwar dengan GPS nya masih mencari-cari di mana camp mereka. Lalu saya melihat ada kepulan asap dari bawah lembah, dan setelah di cek oleh ari ada seorang sedang tidur di byvak (sebut saja Pak Rahmat).
Kami akhirnya mendirikan flysheet sementara Anwar masih keliling mencari lokasi mendirikan tenda yang nyaman. Beberapa saat kemudian, mang Ujang dan mas Jeff datang. Anwar memberanikan diri berkenalan dan tentunya untuk minta saran di mana mendirikan tenda yang nyaman. Ternyata oh ternyata, mas Jeff ini anak Biologi ITB 2005 yang sedang penelitian di kawasan Papandayan untuk gelar S1 nya (jauh-jauh ke gununng, ternyata ada yang senasib juga sama saya ya,ckck) sementara mang Ujang menjadi guide yang sudah menjadi langganan mahasiswa ITB karena dedikasinya terhadap hutan Papandayan.

Kami disarankan mendirikan camp di belakang byvak mereka. Karena sudah sangat lemas, saya bermalas-malasan sambil mengidam-idamkan minuman segar. Ternyata pak Rahmat ini mendengar ucapan pelan saya, dia membuatkan saya teh manis hangat dan bakwan ternikmat se-Tegal Alun,haha..katanya itu bukan suatu kebetulan kami bertemu, tapi memang sudah ada yang mengatur. Rezeki teh manis & bakwan tadi itu dari Tuhan yang melalui pak Rahmat. Kami hanya bisa tertawa, karena mimik mukanya memang lucu sewaktu berbicara.

Ya, memang itulah rezeki kami. Di saat kami tidak berniat ke puncak Papandayan karena tidak tau jalur, mang Ujang bersedia mengantar kami pulang lewat jalur puncak. Di saat batre kamera kami low bat, mas Jeff dengan Canon 550D nya siap mengabadikan moment2 kami, dan di saat kami sudah bosan dengan air putih dan candaan lain, ada sosok pak Rahmat yang memenuhi semuanya bahkan beliau membawa bawang merah, cabe, dan bawang putih yang saya lupa bawa. Semakin nikmat perjalanan kali ini. Luar Biasa!

Suasana sangat riang sore itu, kami begitu cepat akrab bahkan sambil ejek-ejekan karena perbedaan peralatan masak ataupun masakan yang dibuat seperti spaghetti vs bubur kacang ijo. Bagi saya, baru kali ini melihat orang masak bubur kacang ijo di gunung karena boros bahan bakar, tapi sebaliknya baru kali ini juga mang Ujang makan spaghetti, di gunung pula, haha..
Tak berhenti juga pak Rahmat, mang Ujang, dan kami saling bercerita soal pengalaman atau cerita lain tak terasa juga sampai larut malam. Salut dengan cerita mang Ujang yang penasaran ingin menanam edelweiss di depan rumahnya tapi karena tak berkembang sempurna akhirnya beliau angkut lagi dengan potnya, ditanam kembali di Tegal Alun dan ternyata tumbuh sempurna, haha..Aneh, ketika pak Rahmat mulai bercerita soal pengalaman hidupnya di Korea Selatan selama 2 tahun bekerja, secara kebetulan juga Anwar baru pulang dari Korea Selatan untuk studi nya, ckck.. Berkali-kali pak Rahmat berkata banyak sesuatu yang janggal dari pertemuan kami, bahkan setelah kami semua tertidur pulas, Anwar sempat mendengar suara tangis pak Rahmat yang sedang solat malam itu. Tampaknya kami semua saat itu banyak dapat pelajaran soal kehidupan :-).


Tegal Alun – Puncak Papandayan – Garut – Bandung,  5 Juni 2011

Jam 5 pagi seperti biasa saya terbangun karena Ari dan Anwar sudah mulai beraktivitas entah aktivitas apa :p. Saya menyiapkan kompor, wajan, dan adonan untuk membuat kue ala kadarnya. Pagi itu kami seperti lomba memasak. Anwar dan Ari dengan telur kocok dan kwetiaw nya, sedangkan pak Rahmat dengan mendoan dan kentang gorengnya. Kami berempat sarapan duluan sedangkan mang Ujang mengantar mas Jeff yang sedang mengambil data terlebih dahulu sebelum pulang. Saya masih sibuk seruput teh manis buatan pak Rahmat yang masih saja membuatkannya untuk saya, hehe..

Pagi yang sempurna, ada kue, sarapan dengan kwetiaw dan tempe mendoan, ditutup dengan seruputan teh manis dan agar-agar rasa leci. Luar Biasa!

Suasana pagi hari yang luar biasa di Tegal Alun

Sambil menunggu mas Jeff kembali, kami mulai beberes dan packing untuk persiapan pulang via Puncak Papandayan. Jam 11 kami sudah mulai berjalan menyusuri lembah dan menanjak memasuki hutan mati di bukit timur. Jalur sangat rapat, 1 pohon tumbang menghalangi jalan diikuti teman-temannya membuat saya putus asa karena selalu saja mentok meski sudah merunduk :’(. Track awal melipir namun lama-lama menanjak pasti dan menanjak terjal. Akhirya jurus spiderman dikeluarkan lagi. Sekitar pukul 1 siang, kami sudah di puncak Papandayan, dan saya makin takjub saja. Dari atas sini, semua area Papandayan nampak keliatan : Pondok Salada, kawah, Danau vulkanik, Tegal Alun, bahkan jalur guberhut – Tegal Panjang serta desa Cibutarua terlihat samar. Sempat kaget juga ternyata selama 3 hari ini jauh juga ya perjalanan kami, o_O..

view Tegal Panjang dilihat dari trek menuju Puncak
Kawah dan danau vulkanik diliat dari Puncak

Ambil kenang-kenangan berupa foto, kami melanjutkan perjalanan yang kembali menanjak perlahat lalu tiba-tiba track berubah drastic berupa turunan tajam tak berbelas kasihan. Variasi turunan yang membuat saya putus asa : turun lurus tajam, turun bertangga-tangga, bahkan ada yang hampir 85 derajat kemiringan tanpa ada akar untuk berpegangan, ampun dah. Satu setengah jam kami turun ngesot pake kaki kadang pakai pantat juga, sampailah di sungai belerang. Menyusuri semak belukar, dan melewati 1 sungai belerang lagi, tibalah kami di mushola parkiran. 

Kami semua tiba selamat sampai parkiran tanpa kekurang satu apapun, dengan membawa masing-masing cerita dan pengalaman hidup untuk diceritakan pada kerabat ataupun untuk renungan diri sendiri. Tapi saya masih mengganjal dengan perkataan pak Rahmat sebelum berpisah ke desa Cisurupan, hehe..biar menjadi misteri saja :p. (AP)

Parkiran, gerbang utama Papandayan dari desa Cisurupan,Garut
 Terima Kasih kepada :

 1.  Tuham YME
 2.   Orang rumah
 3.  Rekan perjalanan, Anwar untuk navigasi GPS nya juga Ari yang untuk dokumentasi foto-fotonya, maap lain kali gw ga lupa bawa kamera :P juga Jeff, mang Ujang, pak Rachmat.
 4.   Rekan OANC untuk informasinya

===============================

Tarif elf Tegal Lega – Pengalengan = Rp 12 000 (mulai beroperasi dari jam 3 subuh sampai jam 8 malam)
Angkot Pengalengan – Cibutarua = antara 10 000 – 20 000 tergantung nego
Angkot term. Guntur – Cisurupan = Rp 6000
Pick up parkiran – Cisurupan = Rp 6000/orang minimal 5 orang
Ojeg parkiran – Cisurupan = Rp 15 000

Pesan penulis:

 1.  Leave no trace.
 2.  Camp di Tegal Panjang disarankan di bawah pohon besar sebelum sungai kecil yang berjembatan balok kayu.
 3.  Camp di Tegal Alun tidak disarankan karena masih banyak edelweiss yang sedang berkembang, dan sering tertutup kabut yang menyulitkan pandangan juga masih banyak satwa liar (macan dan babi hutan).
 *.)   Kata "Luar Biasa" yang sering penulis kutip merupakan kata-kata yang sering terucap oleh Pak Rachmat :P.

Penampakan Track GPS, thanks to Anwar :


Tuesday, June 07, 2011

Nuansa Rumput Bergoyang di Tegal Panjang (Papandayan part. I)


Tegal Panjang dan Tegal Alun, dua pesona alam identik namun berbeda di kawasan gunung Papandayan, Garut - Jawa Barat ini yang akan menjadi topik saya kali ini. Di saat yang lain sedang berburu bangunnya mentari di puncak, saya memutuskan untuk berburu di tegal atau tempat lapang/alun-alun yang ditumbuhi rumput ilalang menakjubkan bahkan juga sering dijumpai si bunga abadi nan cantik, edelweiss.

Maret 2010, saya sudah berencana mengunjungi kedua tempat tersebut namun karena perlengkapan, waktu, dan cuaca tidak memungkinkan, saya harus ikhlas 2x pendakian hanya sampai area Pondok Salada untuk bangun camp tahun lalu. Awal tahun 2011, beberapa kawan kaskus OANC berencana ke Tegal Panjang, tetapi lagi-lagi waktu tak berpihak pada saya. Ada sisi baiknya, setidaknya saya dapat informasi dari hasil perjalanan mereka. Saya kumpulkan semua informasi baik transportasi, cuaca setempat, dan juga tracking via GPS. Dengan menimbang-nimbang baik buruknya, akhirnya saya dan Anwar memutuskan untuk berangkat esok subuh dari terminal Tegal Lega dengan elf menuju Pengalengan, Bandung Selatan. Sambil menunggu Ari yang berangkat dari Jakarta, Anwar mencari teman seperjalanan lagi yang memang cukup sulit karena ajakan yang sangat dadakan (berangkat kamis jam 3 subuh, ajakan baru berkumandang rabu sore :p).

Bandung – Cibutarua – Tegal Panjang, 3 Juni 2011

Saya tidak tidur karena harus membantu membuat ringkasan pelajaran untuk adik didik yang akan ujian fisika senin depan dan baru packing nyaris pukul 2 tengah malam. Selesai packing, Anwar dan Ari sudah berangkat menuju terminal, lalu saya susul mencari angkot yang ternyata kami tiba berbarengan di kebon kelapa. Kami melanjutkan dengan angkot lain menuju terminal Tegal Lega. Angkut ransel ke atas elf, lalu mencari cemilan untuk mengganjal perut, dilanjutkan dengan tidur meski sang supir terus menerus ngetem mencari penumpang.

Akhirnya kami tiba di Pengalengan jam 6 pagi. Kami sigap mencari toilet untuk ritual pagi hari. Kebetulan selama kami menumpang toilet pomp bensin, seorang bapak menawarkan angkot untuk membawa kami ke desa Cibutarua, desa persinggahan kami sebelum memulai pendakian. Setelah tawar menawar harga yang berlangsung alot, akhirnya deal 55.000/3 orang. 

Perjalanan menuju desa Cibutarua di dominasi kebun teh milik PT PN, bahkan hampir sepanjang jalan sejauh mata memandang hanya ada hamparan kebun teh. Jalan aspal yang semula mulus berangsur-angsur rusak parah dan semakin lama bentuk jalan berubah hanya susunan batu yang susunannya pun tak rapih. Inilah rasanya naik odong-odong hampir satu setengah jam :p.
di dalam angkot
Jam 8 waktu setempat, kami tiba di depan kantor kepala desa Cibutarua. Suasana sepi dan dingin pagi hari itu. Kami langsung menuju warung terdekat untuk membeli sarapan karena perut saya sudah mau diisi lagi. Malang tak dapat ditolak, tak ada satu pun bentuk sarapan yang ditemui di sana. Akhirnya harus puas dengan 3 potong tahu goreng dan biscuit untung pengganjal perut ditambah teh hangat pahit yang tadinya dipesan teh manis, ckck.

Matahari semakin terang, kami memutuskan berangkat. Tepat pukul 8.30, selesai berdoa, kami mulai perjalanan kali ini menyusuri perkebunan teh yang sangat luas. Saya sulit menentukan arah jika berada di kebun teh karena semua trek hampir mirip. Dan benar saja, kami berputar-putar hampir 2 jam di kebun teh ini meski telah memanfaatkan gps offline (baca : guide penduduk setempat = bertanya :p). Akhirnya kami memutuskan untuk percaya pada GPS asli :p. Ternyata kami sudah berbeda 2 bukit dengan track GPS, terpaksa potong jalur tembus kebun teh. Kami sampai pada batas kebun teh dengan ladang pukul 11 kurang. Istirahat sejenak di dekat sungai kecil, lalu mulai menelusuri ladang. 
jalur awal, akan menelusuri kebun teh di depan sana

ladang penduduk Cikoleti
Saya kurang yakin dengan track pada GPS mengarah ke empang dan rumah penduduk, dijaga 2 anjing pula. Setelah Anwar bertanya ke penghuninya, ternyata benar lewat samping rumahnya. Wow, benar-benar jalur yang aneh. Jalur terus menanjak pasti membelah ladang “liar” penduduk Cikoleti ini, masih terlihat jelas pembakaran pohon-pohon untuk dimanfaatkan lahannya dan mungkin juga untuk dijual kayu-kayunya. Sampai batas hutan pukul 11.30, kami istirahat, buka trangia seduh energen untuk mengganjal perut di perjalanan berikutnya.

Kami melanjutkan perjalanan memasuki hutan. Jalur kombinasi menanjak dan menurun membuat lutut cepat lelah. Kami dihadang sungai yang cukup deras dan setelah di tes dengan trekpole cukup dalam juga sungainya. Akhirnya kami memutuskan melompat meski awalnya ragu-ragu bebatuan di sisi lainnya licin. Semak perdu semakin lebat membuat kaki saya dan Anwar yang memang memakai celana pendek ga tahan lagi. Akhirnya saya memakai celana panjang dan Anwar pasang gaiternya, sementara Ari tak mengeluh persoalan perdu ini karena memang memakai celana lapangan. 
sungai pertama, cukup dalam dan deras
salah satu potret jalur
Beberapa kali saya meminta istirahat karena fisik sudah habis dan lutut nyut-nyutan dipaksa menanjak dan menurun kira-kira 4-5 bukit, semakin berjalan semakin membosankan karena kiri kanan jalur hanya tumbuhan homogen yang lebat. Di tengah perjalanan yang membosankan, saya membuka topik soal babi hutan. Sepanjang perjalanan, setiap melihat lumpur melingkar membentuk kerucut bertumpuk seperti es krim cone, dengan sotoy-nya saya bilang itu bekas celeng, haha. Mulainya bercerita serba-serbi celeng dan tak terasa hutan semakin lama semakin renggang dan nampak ada cahaya di depan pandangan. Pepohonan semakin terbuka tetapi justru membuat jalur semakin tidak jelas. Setelah berputar-putar akhirnya kami kembali ke jalur GPS menuju pintu hutan Tegal Panjang.

Capek, lelah, dan bosan semua hilang sekejap melihat pemandangan Tegal Panjang di depan mata. Seperti dunia khayangan waktu itu saya bilang ke teman-teman. Perlahan kabut tipis pun turun dan gerimis rintik mengikutinya. Anwar dan Ari lalu memasang flysheet sementara saya masih asik tiduran sambil memandang rumput-rumputan yang mulai ditutupi kabut. Indahnya…
suasana berkabut sore hari
camp di atas sungai terakhir
Tak berapa lama gerimis dan kabut pun hilang, kami bergegas mencari lapak untuk camp. Setelah melewati sungai terakhir, kami memutuskan camp di seberang sungai terakhir. Setelah beberes dan rapih-rapih tenda, saya merasa mulai merasa mual. Tak berapa lama pun saya muntah, sepertinya masuk angin karena malam sebelumnya gak tidur ditambah belum sarapan dan makan siang yang cukup. Karena lemas, saya masuk tenda dan langsung tidur terlelap dengan lantunan nada alam saking lelahnya :p. 

Anwar dan Ari menyiapkan makan malam selama saya tertidur pulas. Sekitar pukul 6 sore, Anwar membangunkan saya karena terdengar saya sedang menggigil, saat itu saya masih setengah tidur sambil memakai jaket dan sleeping bag lalu pulas lagi. Entah berapa lama kemudian, Ari yang membangunkan saya dan memberikan segelas jahe hangat. Segarnya jahe hangat saat itu, jahe ternikmat se-Tegal Panjang, haha..
Malam itu kami mekan nugget, sayur sop, dan nasi. Perut belum mau diisi penuh, nasi pun masih sisa banyak yang akhirnya disimpan untuk esok pagi. Malam itu suasana begitu hening, hanya ada kami yang masih semangat bercerita dan bercanda soal babi hutan dan lainnya. Sampai-sampai suara air menetes ke flysheet tenda pun disangka suara babi oleh Anwar yang wajahnya sangat panik sambil memegang belati saya, haha.. Akhirnya saya tumbang pertama jam 9an, sementara mereka berdua masih asik ngobrol.
matahari sore hari yang hangat

Tegal Panjang – Guberhut – Tegal Alun, 4 Juni 2011

Jam 2 pagi, saya dibangunkan suara berisik di luar tenda. Suara hewan-hewan hutan yang sedang berusaha mencari sesuap makanan dari logistik kami. Lalu saya bangunkan Ari dan bilang bahwa ada babi hutan di luar, haha. Lagi-lagi babi hutan jadi korban padahal hanya tikus hutan atau pengerat lainnya mungkin. Saya juga mendengar jelas suara berisik di tenda Anwar, rupanya dia mulai kedinginan dan memasang sleeping bag nya. Lajut tidur lagi karena sedang dingin-dinginnya di waktu subuh ini.
suasana pagi hari sebelum mentari muncul
siluet
Jam 5 kami semua bangun, disambut kicauan burung-burung di dalam hutan. Ari mulai memotret suasana pagi hari ini sementara saya dan Anwar menyiapkan sarapan pagi. Menu kali ini adalah nasi goreng campur mie goreng dengan nugget sisa semalam. Samping tenda kami terlihat seekor laba-laba sedang membuat sarang, pertanda baiknya cuaca akan cerah.
nasi goreng mawut

laba-laba bangun sarang
Selesai makan, kami mulai beberes dan packing untuk melanjutkan perjalanan berikutnya menuju Tegal Alun. Dan tidak lupa foto narsis ria bergaya om andre kopassus, haha..
santai sambil nunggu packing
Karena terlalu memulur waktu, target jam 9 berangkat akhirnya ulur waktu baru berangkat jam 10 kurang meninggalkan Tegal Panjang. Kami mulai menyusuri padang rumput menuju ke arah tenggara. Melintas daerah rerumputan yang terbakar, ada percabangan ke kiri dan kanan, kami mengambil arah kanan karena arah kiri adalah jalur menuju gunung puntang sedangkan jalur kanan jalur melipir.
si rumput merah
rumput yang kebakaran karena musim kemarau
Bersambung (part II) .......................

Saturday, June 04, 2011

Main Bareng Tieka dan Indah

4 Juni 2011

Hari Jumat itu, adalah hari kedua  saya menikmati rangkain cuti bersama selama 4 hari. Alhamdulillah, pas banget buat istirahat. Bisa untuk recharge energi sebelum saya kembali lagi ke kantor untuk bekerja di hari Senin. Selama libur, saya bisa menikmati tidur siang sekitar 2 jam.  Ya Allah, nikmaaaaattt!!! 

Sekitar jam 2, saya bangun dari tidur siang, saya nyalakan PC, langsung main Mahjong Titans. Saat saya sedang seru-serunya main, tiba-tiba muncul message dari Tieka, ngajak main ke rumah Indah. Sebenarnya, dari kemarin Kamis, saya berniat untuk main, tapi nikmatin liburan di rumah itu enaaaakk banget!! (baca: males-malesan) :p Tapi, Tika ngajak main Scrabble lagi. Waahh, ga bisa nih dilewatin. Soalnya, beberapa minggu lalu, kami main berempat, plus Dinov, dan saya diperingkat bawah. Hiks. 
 
Akhirnya, saya bilang OK. Saya langsung mematikan PC, tarik handuk, mandi, dan salat ashar. Sekitar jam setengah 4, saya berangkat ke rumah Indah. Karena saya malas naik T11, yang kebanyakan nge-tem tim Pal, mending saya potong jalan, naik ojeg lewat Gg.Shawal. Sesampainya, di Gg. Shawal, tukang ojeg sudah menghampiri saya dan bertanya, “Mau kemana, Neng?”. Saya jawab, “Ke Lembah Hijau ya, Pak. Di Jl. Panasonic Gobel, ke rumah di samping Indomart”. Yes!, tukang ojegnya langsung ngebut.


Sesampainya di rumah Indah, saya duduk sebentar sambil ngobrol-ngobrol sama Ibu. Lalu, saya memesan martabak telur dan martabak manis di depan rumah Indah. Enak banged jadi Indah, apa-apa ada di deket rumahnya. Hehehe.. 
 
Akhirnya, Tieka datang juga sekitar jam 5 sore. Saya ga sabar lagi untuk menyiapkan Scrabble agar kami cepat memulai permainan. 15 menit setelah Tieka datang, kami langsung main. Optimis dong bisa menang, hehe.. Tieka , Indah ini adalah pembalasanku.. (ciee..lebay). Tika menjadi orang pertama yang jalan, disusul Indah dan saya. Kami senang sekali bisa bermain bersama, apalagi ditemani lagu-lagu kesukaan kami, country ala Shania Twain. Yahh, kami benar-benar menikmati saat-saat seperti itu, sambil main, kami teriak-teriak bernyanyi bersama. I love you girls… 


Setengah permainan, permainan kami imbang. Saat adzan magrib kami istirahat dan shalat sejenak. Setelah itu, lanjut untuk menyelesaikan permainan kami. Sekitar jam setengah 7, permainan selesai. Setelah dihitung-hitung, Indah berhasil menjadi juara, disusul oleh saya, lalu Tieka. Asyik, saya ga di posisi paling bawah lagi. Hehe.. Intinya bukan menang dan kalah. Ini hanya salah satu cara kami bersilaturahmi. 



Berhubung kami lapar, kami makan di tempat makan yang juga di depan rumah Indah. Singkat cerita, kami kurang “sreg” dengan makanan yang kami pesan. Yaah, sayang banget sih, tapi sudah terlanjur dipesan juga. Akhirnya sekitar jam setengah 9, saya memutuskan untuk pulang.

Alhamdulillah, akhirnya bisa sampai di rumah jam 9 malam. Terima kasih Ya Allah, Engkau memberikan banyak kawan untukku, dan beberapa sahabat yang hebat dan selalu ada untukku. Alhamdulillah.