Monday, October 31, 2011

Menggembala banteng bersama sahabat di TNUK


Saya sudah ‘melihat’ Ujungkulon di tahun 2004 dari atas bukit di kawasan Tg. Lesung. Terlihat samar dan misterius, hati kecil bertanya “apa benar masih ada badak di sana?”. 

5 tahun kemudian…

Saat itu, keluar uang lebih dari 200ribu untuk jalan-jalan termasuk mewah sekali bagi mahasiswa seperti saya juga teman-teman saya. Apa boleh dikata, niat sudah bulat melihat habitat sang cula satu dari dekat. Saya, Deri, dan Singgih kemudian giat mencari teman seperjalanan lagi supaya pengeluaran nanti bisa ditekan seminimal mungkin. Mendekati hari H, dengan peserta yang masuk dan keluar dalam beberapa hari terakhir, kami fix berangkat hanya 5 orang seperti tim semula.

11 Juni 2009, pukul 6 pagi kami sepakat berkumpul di Kp Rambutan sebelum melanjutkan perjalanan menuju terminal Pakupatan – Serang, karena elf satu-satunya yang menuju Taman Jaya berangkat pukul 11 siang dari sana. Di luar dugaan, bus jurusan Merak yg kami tumpangi (inisial A***da) tiba di Pakupatan jam 8 kurang, jauh lebih cepat dari rencana. Akhinya kami pun terpaksa menunggu 3 jam di terminal.

Elf dengan logo depan “neng nindy” sudah terlihat penuh, baik di dalam juga di atas. Saya memilih posisi dekat pintu yang 1 kursi supaya nyaman gak desak-desakan. Jam 11 tepat elf ini sudah meninggalkan terminal, tetapi tidak langsung menuju Taman Jaya karena terus menaiki penumpang di rute nya yang semakin lama kondisi di dalam mobil pun tidak kondusif lagi (baca : total 26 orang termasuk yg di pintu dan atap mobil) . Rute elf melewati Pandeglang – pertigaan Tg Lesung – Sumur – Taman Jaya memakan waktu kurang lebih 6 jam, melewati kawasan industri, pariwisata, pasar tradisional, hutan mangrove, bahkan ban mobil sempat berputar di atas pasir pantai dan terkena deburan ombak kecil.

elf neng nindy
Setibanya di desa Taman Jaya, kami diajak ke home stay pak Komar. Beliau memberi arahan soal kawasan juga soal biaya selama trip menyangkut sewa kapal dll. Setelah diperinci lagi, ternyata budget kami tidak menutupi biaya explore kawasan selama 3d2n. Sebelum berangkat, kami semua hanya membawa 500rb/orang. Kondisi saat itu memungkinkan kami pulang esok harinya tanpa menginjak kawasan. Mungkin hari itu hari terbaik kami berlima, kami dipersilakan mengunjungi kawasan dengan transport dan akomodasi seadanya dari jasa pak Komar. Malam itu kami tidur nyenyak di home stay pak Komar meski kami semua menempati 1 kamar dengan 2 ranjang.

12 Juni 2009, pagi yang luar biasa cerah untuk memulai aktivitas. Setelah persiapan logistik, sholat subuh, mandi, sarapan, kami bergegas ke dermaga Taman Jaya untuk memulai perjalann via laut menuju P. Peucang untuk registrasi. Perjalanan ditempuh kurang lebih 3 jam. Sesekali terlihat elang laut terbang mengitari keramba-keramba nelayan di lepas pantai Taman Jaya. Mang Ipin, sang kapten kapal, juga mang Udin guide kami selama di kawasan nanti, sedang asik memancing tongkol untuk mengisi perjalanan yang cukup membosankan ini. Sementara saya tambah jatah tidur lagi di dek, yang lain asik foto-foto sambil naik di atas kapal.

Menjelang jam 11 siang, kami tiba di Peucang. Kesan pertama : AMAZING! Pulau kecil ini dikelilingi pantai pasir putih di bagian selatan dan karang di bagian utara. Terdapat banyak binatang di sini : babi hutan, merak, rusa, monyet, burung rangkong, biawak, dll. Mereka terlihat terbiasa dengan kehadiran manusia, kecuali merak yang masih sembunyi-sembunyi di dalam hutan. 

dermaga P. Peucang
Karena penasaran, kami mencoba meliat sisi utara pulau dengan trekking singkat selama 1 jam menembus hutan tengah pulau. Ada sebuah pohon besar dengan akar-akar mirip tentakel gurita setelah jalan beberapa saat memasuki hutan. Siang hari, satwa-satwa ini berlindung dari teriknya matahari di dalam hutan, kadang dijumpai rusa dan biawak yang lari berkaburan kaget melihat kami. Karang Copong, sebutan sisi utara P. Peucang karena memang terbentuk dari karang tinggi yang bagian bawahnya berlubang sehingga kita dapat melihat deburan ombak di bawah tempat kita berdiri.

Menjelang petang, kami kembali ke kapal. Perut sudah bergejolak. Ternyata makan siang sudah disiapkan mang Ipin dan Mang Udin. Menu kali ini telor dadar plus ikan teri. Kami sebenarnya hanya membawa beras, telur, bumbu-bumbu dapur, serta makanan ringan juga mie. Tidak bawa bahan makanan lainnya. Jadi, selama di kawasan, kami memanfaatkan hasil laut untuk dimakan.

Selesai makan, karena belum puas main air, kami nyebur lagi di pantai sambil susur pantai ke arah barat. Puas main air dan keliling pulau, kami belayar lagi menuju Cibom karena hari juga semakin sore. Cibom adalah pintu masuk terdekat menuju mercusuar dan Tg Layar. Kami tiba terlalu sore di Cibom. Tidak ada dermaga di Cibom sehingga harus menggunakan kano atau langsung renang menuju ke tepi dari kapal (pantai berkarang, kapal tidak bisa mendekat). 

Di Cibom terdapat pos tentang profil kawasan TNUK. Kami melanjutkan trekking menuju Tg Layar selama kurang lebih 30 menit. Kami diajak mampir di mercusuar baru sebelum menuju Tg Layar (lupa nama penjaganya, pak Kosasih?? ). Istirahat sejenak di depan mess penjaga sambil ngobrol dengan si bapak. Kami berubah haluan tempat inap setelah pak penjaga menawarkan bermalam di salah satu ruangan mess. Kami tentu tidak menolak apalagi di sana ada air bersih juga dapat akses gas untuk masak. FYI, air bersih di kawasan mercusuar di dapat dari tadahan air hujan yang ditampung di tangki besar. Listrik di mess sendiri hanya hidup sampai jam 10 malam karena masih menggunakan diesel dan panel surya. Malam ini kami tidur nyenyak.

13 Juni 2009, saya terbangun tengah malam karena ada sesuatu yang menggerayangi kaki saya. Mungkin kecoa atau tikus hutan. Lanjut tidur lagi, kali ini saya menarik sleeping bag menutupi kaki. Bangun pagi hari, kami main di bawah mercusuar melihat sunrise. Tidak ada niatan untuk menaikinya, hanya rangkaian batang-batang besi seperti tower provider dengan ukuran yg lebih lebar dan pijakan tangga juga dari lempeng besi.

mercusuar baru tg layar
Selesai sarapan ala kadarnya, kami sepakat untuk trekking Cibom-Cidaon, sedangkan Towo tidak ikut karena kakinya terkilir. Sampai di Cibom, kami berpisah. Towo dijemput ABK mang Ipin dengan kano sampai naik kapal, yang kemudian bertemu kami lagi nanti di dermaga Cidaon.  Saya lupa pastinya berapa jarak antara Cibom – Cidaon, kami trekking masuk hutan keluar pantai selama 2-3 jam yang kadang harus menebas batang pohon yang menghalangi jalan.

Suasana hutan didominasi tanaman seperti sagu tetepi ujung daunnya terdapat tulang daun memanjang yg berduri. Deri sempat tersangkut duri-duri dari rantingnya dan lumayan perih katanya. Terkadang kami harus menaiki pohon tumbang untuk sampai ke area seberang, tanah berlumpur, tepi pantai yang terkena ombak, juga melintasi muara yang ada buaya! Muara ini terletak 10 menit sebelum tiba di dermaga Cidaon. Muara sungai ini tidak terlalu dalam untuk dilewati, hanya saja perlu berhati-hati karena terkadang terlihat buaya yang sedang berjemur di tepi-tepi muara sampai pesisir pantainya. 

Tengah hari kami tiba di posko Cidaon, dekat dermaga. Tampak Towo sedang asik duduk-duduk di sana. Mang Ipin ternyata sudah menyiapkan makan siang berupa ikan laut. Saya melirik kakap merah dan kerapu yang dibakar, :ngiler:. Ada cerita menarik. Ternyata kano yang tadi ditumpangi Towo sewaktu melintas karang di Cibom dihajar ombak besar. Untungnya dia pakai pelampung, dan langsung ditarik ABK. Ombak pagi hari di Cibom memang besar karena selat perbatasan laut dalam dan dangkal. 

Kenyang makan siang, kami diajak mang Udin ke ladang pengembalaan banteng. Sebenarnya, dari muara sungai tadi ke demaga, kita akan melintasi pertigaan menuju ladang pengembalaan. Tidak terlalu jauh dari persimpangan tadi, kita sudah melihat tower untuk melihat banteng dari kejauhan. Menurut mang Udin, saat yang tepat melihat banteng di padang ini adalah sekitar jam 3 – 4 sore. Beruntung kami melihat banyak sekali kawanan banteng cokelat yang dijaga sang pejantan hitam. 

ladang pengembalaan, cidaon
Puas foto-foto banteng dari kejauhan, kami kembali ke Peucang lagi untuk isi air bersih dan mandi juga. Kami sepakat tidak bangun tenda, tetapi ikut kapal mancing di laut dan tidur di dek. Kegiatan malam itu hanya diisi dengan mancingmania. Hanya saya yang dapat ikan, itupun cuma seekor karena belum mahir pancing tarik.

14 Juni 2009, kami terbangun di ujung barat Pulau Jawa. Ombak yang tinggi membuat kepala semakin pusing, bahkan ada yang mabuk laut juga. Kami menunggu pak penjaga mercusuar karena beliau ikut kami ke Taman Jaya. Dari tepi pantai Cibom terlihat beliau dengan barang bawaannya. ABK kapal menjemputnya hanya dengan ban karet. Upah transport sepertinya 1 dirijen isi bahan bakar untuk kapal.

Kami langsung menuju Taman Jaya setelah pak penjaga sudah di kapal. Perjalanan pulang sama membosankannya seperti awal perjalanan. Kami isi waktu dengan cerita-cerita mang Ipin, pak penjaga, dan mang Udin soal TNUK. Tiba di dermaga Taman Jaya lewat tengah hari, sewaktu menginjak tanah badan masih terasa terombang-ambing ombak. Kami menginap semalam lagi di home stay pak Komar menunggu jemputan elf yang berangkat jam 2 subuh menuju Pakupatan, Serang. Sudah ada 2 tamu wanita bule eropa di home stay yang akan masuk kawasan esok hari. 

Kami tidak mampir ke Cigenteur, Handeleum, karena keterbatasan dana. Saya pribadi hanya menyisakan Rp 3000 begitu sampai di rumah. Mungkin jika banyak peserta yang ikut, biaya bisa ditekan lebih kecil. (AP)

Info tambahan :
  • Bawa bahan makanan dari rumah karena di sana mahal
  • Siapkan fisik, terutama obat-obatan, dan penangkal nyamuk
  • Musim yang baik antara juni-agustus, kawanan hewan biasa mencari makan sore-sore
  • CP pak komar : 081806181209
  • Elf taman jaya berangkat dari Serang jam 11 siang, berangkat dari taman jaya jam 2 pagi.

GALERI (klik untuk perbesar)

Thursday, October 20, 2011

Curug Cileat, Subang - Jawa Barat

Curug Cileat

Bandung, 7 Oktober 2011

Malam ini saya kumpul dengan kawan-kawan OANC Bandung karena kadatangan tamu jauh, mas Karees dan Om Sukrib. Janjian di angkringan depan kampus gajah jam 7 malam ternyata baru saya dan Ari yang nongol, beberapa saat kemudian Roby dan Maggie menyusul. Di kesempatan itu saya ajak Ari ke Curug Cileat, yang minggu sebelumnya Roby dan Maggie ke sana dengan Anwar. Setelah tanya detail soal rute transport dan ongkos, kami berdua sepakat berangkat besok sabtu berangkat pagi dari Bandung.

Setelah rame, saya sedikit usaha siapa tau ada yang bisa diculik ikut ke Cileat juga daripada ntar dibilang :maho cuma jalan berdua Ari. Jurus kali ini ga ampuh, cuma berhasil culik 2 orang, Anto dan Felis. Yasudahlah, yang penting jadi berangkat. Jam 10an banyak yang sudah mulai pulang ke kediaman masing-masing sedangkan om Sukrib belum nongol juga nih. Setelah dapat kabar dari beliau ternyata masih macet di Cipularang, wkwkwk. Kami lanjut ngobrol lagi sampai om Sukrib datang.

Bandung - Subang, 8 Oktober 2011

Kedatangan om Sukrib yang hampir tengah malam juga diikuti datangnya hujan. Akhirnya kami pindah nongkrong di McD Simpang Dago. Saat itu saya dan Ari masih ikutan nimbrung sedangkan Anto dan Felis sudah di kediaman masing-masing dan bersiap2 packing. Ngobrol sana sini, becanda, cerita khayalan, gak terasa udah azan subuh o.O. Rencana berangkat jam 10 sepertinya mustahil, karena Ari harus packing dulu ke Jatinangor.

Bener deh dugaan, kami baru berangkat jam 12 dari BNI Taman Sari menuju terminal Ledeng. Dari terminal Ledeng kami pindah ke L300 jurusan Subang. Hujan gerimis sepanjang perjalanan memaksa saya tertidur, mungkin juga karena semalem begadang :P. Kami turun di Cagak, pindah Elf ke arah Gardu Sayang. Lama perjalanan kira-kira 30 menit, melewati perkebunan nanas, kolam pemancingan, dan Pasar Cisalak. Dari Gardu Sayang, kita bisa naik ojeg atau jalan kaki melewati jalan aspal sejauh 9 km. karena keterbatasan waktu, kami naik ojeg dengan ongkos Rp 20.000/orang. 

Tiba di desa terakhir (lupa namanya), kami melanjutkan trekking melewati sawah-sawah dan perkebunan warga. Hari sudah semakin sore, ditambah langit mendung. 15 menit kemudian kami menjumpai simpang, kiri jalan menurun kanan jalan menanjak. Saya putuskan telepon Anwar : “ ambil kiri, kan kalo kanan nanjak terus itu”. Alhasil, kami nyasar di persawahan dan sarang pacet :’(. Beruntung kami bertemu dengan bapak pencari kayu bakar, kami ditunjukan jalan yang sebenarnya :D.

Azan maghrib berkumandang, kami baru tiba di bekas warung yang dikelilingi pohon kelapa. Ari sholat di bekas warung, sedangkan kami bertiga buka roti sobek buat ganjelan perut. Dari bekas warung ini, kami mengambil jalan ke kanan, melewati parit kecil dan sawah lagi. Untuk menuju ke curug Cileat, kita akan melewati 3 curug tinggi yang airnya tidak begitu deras. 10 menit dari curug ketiga, kami sudah tiba di Cileat.

Kami memutuskan buka tenda di tanah datar teratas. Suasana gemuruh bunyi benturan air dengan bebatuan di bawah curug, juga karena anginnya yg lumayan kencang. Angin yang juga membawa butiran air cipratan curug ini cukup membuat si Storm II tembus di atas. Acara malam itu diisi ngobrol-ngobrol dan masak-masak.

Jam 10, Ari dan Felis sudah pulas. Sisa saya berdua dengan Anto yang masih asik buat roti mentega. Angin cukup kencang malam itu, saya berusaha membangunkan Ari yang tidur pulas di luar tenda namun tidak bangun-bangun. Akhirnya saya dan Anto sepakat tidak menutup pintu tenda, kami tidak tidur pulas sampai subuh karena suatu hal :P.

Subang, 9 Oktober 2011

Bangun pagi itu masih terasa ngantuk, tapi saya sudah tidak sabar masak-masak karena perut sudah minta diisi. Setelah sarapan, kami main di curug, foto-foto dan main air. Selang beberapa lama, datang sekelompok pemuda setempat yang dari atributnya seperti pramuka (seragam cokelat bawa bendera :p). Karena saya juga malas liat tingkah laku mereka yang teriak-teriak ga jelas di bawah curug, akhirnya saya ikut yang lainnya beres-beres tenda, siap-siap untuk pulang.

Perjalanan pulang lebih cepat dari berangkat (karena ga nyasar,hehe). Kami sudah SMS pak ojeg untuk menjemput di tempat terakhir tetapi mereka gak kunjung datang. Anto dan Felish inisiatif untuk jalan kaki saja sampai Gardu Sayang. Baru jalan 10 menit, tiba-tiba hujan deras :(. Setelah berjalan 2 jam, kami baru sampai di Gardu Sayang, bersih-bersih badan di masjid terdekat lalu menunggu angkutan yang mengantar kami ke Bandung lagi. (AP)

Tips penulis :
  1. Bawa pakaian lebih untuk main air di curug, jangan lupa bawa kamera juga
  2. Minta nomor tukang ojeg sebelum berpisah di desa terakhir
  3. Leave no Trace, minimal JANGAN buang sampah sembarangan.

    GALERI (klik untuk perbesar)